Saat ini di pasaran memang hanya tersedia Nissan Grand Livina bekas. Tanpa produk baru yang meluncur, keberadaannya seolah terlupakan. Namun jika kita mengingat pada periode pertengahan dekade 2000-an, siapa yang tidak kenal dengan low MPV andalan Nissan ini.
Dengan tongkrongan yang manis, ditambah keunggulan dalam hal pengendalian, kapasitas kabin, serta efisiensi konsumsi BBM, menjadikan Grand Livina sempat jadi primadona di jalanan. Tak heran pada tahun-tahun pertamanya, low MPV ini terjual 20 ribu hingga 30 ribu unit per tahun.
Kala itu Grand Livina seolah membuka mata pasar otomotif Indonesia, bahwa sebuah low MPV juga bisa didesain dengan sangat baik. Selain itu, mobil ini juga dianggap memiliki kenyamanan yang di atas rata-rata mobil sekelasnya. Harus diakui, kompetitor juga langsung berbenah diri setelah melihat kenyataan ini.
Namun seiring waktu berjalan, pamor Grand Livina perlahan-lahan meredup. Apa saja faktor yang mempengaruhinya? Mari kita simak fakta-fakta berikut:
Perjalanan bisnis Nissan di Indonesia beberapa tahun belakangan memang kurang menguntungkan. Setelah angka penjualan yang terus anjlok, beberapa masalah internal juga mempengaruhi kinerja perusahaan baik di tingkat global maupun regional, hingga akhirnya kita mendengar berita tentang penutupan pabrik Nissan di Indonesia pada tahun 2020 ini.
Dua tahun terakhir Nissan merestrukturisasi perusahaan dengan mengurangi jumlah karyawan hingga tinggal 300 orang. Semula jumlah tenaga kerja tersebut diproyeksikan untuk memproduksi Datsun. Pabrik Nissan di Jawa Barat rencananya hanya akan memproduksi mesin Xpander-Livina dan mobil listrik. Namun belakangan prinsipal memutuskan untuk memusatkan basis produksi Asia Tenggara di Thailand sehingga akhirnya rencana bisnis itu tidak terlaksana.
Faktor persoalan internal dalam perusahaan Nissan tadi sedikit banyak mempengaruhi persepsi konsumen terhadap kelangsungan produk-produk Nissan. Situasi ini sebenarnya umum terjadi ketika sebuah pabrikan otomotif mengalami permasalahan. Pada masa itu, Nissan sebenarnya tidak sendirian. Setidaknya Ford dan Chevrolet juga mengalami hal yang sama.
Kekhawatiran konsumen terutama menyangkut layanan purnajualnya. Ada kekhawatiran kalau kualitas layanan mengalami penurunan, bahkan layanan menghilang sama sekali. Meski sebenarnya tidak pernah terbukti, kenyataan ini ternyata telanjur memengaruhi harga Grand Livina bekas di pasaran.
Dalam channel Youtube Otoseken, Dandy, anggota komunitas Grand Livina Club mengakui kalau brand Nissan kurang menancap di benak konsumen Indonesia. “Tidak bisa masuk top of mind,” kata dia. Faktor ini rupanya cukup kuat memengaruhi harga Grand Livina bekas di pasaran.
Ada persepsi di masyarakat tentang after sales, spare part yang sulit dan mahal, durability yang kurang baik, atau komponen yang kurang awet. Meski semua itu, menurut Dandy, hanya sekadar persepsi yang belum tentu benar. Buktinya antara lain, komunitas Nissan tetap solid dan tidak terpengaruh dengan kondisi tersebut.
Ada sementara orang yang berpendapat kalau spare part Nissan susah didapat dan mahal. Anggapan itu lagi-lagi dibantah Dandy. Menurut dia, harga spare part sebenarnya sebanding dengan kualitas dan usia pakai. Bahkan bisa lebih awet dibandingkan spare part serupa merek kompetitor. Dengan catatan, spare part dalam kondisi original.
Sementara itu masih di channel Youtube Otoseken, Sugianto dari bengkel Nissan Auto Clinic mengatakan kalau untuk spare part slow moving memang lebih mahal. Tapi kalau untuk fast moving, sebenarnya sama dengan merek-merek lain. Itupun faktornya karena untuk fast moving tidak banyak “barang KW-nya” jika dibandingkan kompetitor.
Ada persepsi yang salah dari sebagian orang bahwa Grand Livina punya berbagai “kelemahan” saat dipakai di jalanan. Misalnya tidak kuat menanjak, karena memang berpenggerak roda depan. Ground cleareance-nya yang rendah juga sering dikeluhkan, selain peredaman kabin yang memang kurang sempurna.
Kompresi mesin yang tergolong tinggi dibanding mobil-mobil pada kelasnya (10,5:1) membuat mobil ini memang lebih tepat mengonsumsi BBM dengan RON 92 atau Pertamax. Padahal Pertamax masih dianggap sebagai BBM yang relatif mahal bagi sebagian orang. Rupanya faktor BBM ini juga dianggap sebagai masalah. Meski mobil ini tergolong irit, namun jenis BBM yang sebaiknya ditenggak, ternyata bisa membawa pengaruh signifikan untuk sebagian masyarakat.
Meski harga Grand Livina bekas turun jauh dari harga belinya, bukan berarti peminatnya di bursa mobil bekas juga ikutan sepi. Laporan dari beberapa media yang mengutip pedagang mobil bekas, mobil ini tetap punya pasarnya sendiri. Terutama konsumen yang menginginkan mobil yang nyaman dengan harga terjangkau.
Jika Anda memang berminat memiliki sebuah Nissan Grand Livina bekas , jangan ragu untuk memanfaatkan jasa inspeksi mobil bekas Otospector untuk memastikan kondisinya cukup prima. Dengan mendapatkan mobil dengan kondisi terbaik, kita akan merasa puas memakainya dan tidak khawatir akan adanya kerusakan.
Bagikan